“Aku ingin pindah ke Meikarta”
Belakangan
ini saya rajin mendengar tagline ini hampir di seluruh siaran televisi. Awalnya
saya nggak ngerti apa sih Meikarta itu? Kirain plesetan orang-orang tentang
Jakarta.
Ternyata
Meikarta adalah sebuah proyek raksasa Lippo Grup yang ada di Cikarang. Menurut
kabar, sejak awal perencanaanya Meikarta sudah menuai polemik. Mulai dari
kasak-kusuk hegemoni asing di Indonesia, hingga soal izin pembangunan proyek
pemukiman. Lahan sekitar 600 hektar tersebut diberitakan baru memiliki Izin
Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagai tindak lanjut adanya izin lokasi.
Nah.
Kok bisa gitu ya.
Menurut
Eddy Nasution, selaku Asisten
Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemprov
Jabar) bahwa pihaknya telah meminta Lippo Grup untuk menghentikan pembangunan
Meikarta sampai seluruh perijinan rampung. Berdasarkan pantauan dari lokasi,
saat ini pembangunan tersebut baru sebatas penanaman pohon, rumput, dan
pengiriman alat konstruksi seperti crane dan sebagainya.
Berdasarkan
kepada peraturan yang berlaku, seharusnya setelah mendapatkan IPPT pihak Lippo
menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), mendapatkan izin
lingkungan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), setelah itu baru bisa memulai
proses pembangunan jika semua terpenuhi.
Tidak
hanya itu kehebohan juga terjadi saat peluncuran sekaligus promosi pada tanggal
17 Agustus lalu, dengan mengadakan sistem booking
fee sebessr 2 juta rupiah saja. Hal itu membuat Wakil Gubernur Jawa Barat
Dedy Mizwar menyayangkan tindakan Lippo yang tetap melangsungkan aktivitasnya
walaupun belum mengantongi izin lengkap.
Berbanding terbalik dengan kabar yang beredar, Danang Kemayan
selaku Direktur PT Lippo Karawaci mengungkapkan bahwa tidak ada masalah dalam pembangunan, dan penuntasan perizinan proyek ke Pemerintah
Kabupaten Bekasi sedang diproses oleh pihak manajemen.
Lebih lanjut, Danang menjelaskan bahwa aktivitas pemasaran yang
dilakukan Lippo adalah sebuah hal yang wajar, yakni dengan terlebih dulu
menjual konsep. Toh yang dibayarkan oleh pelanggan saat ini bukan berupa downpayment atau uang muka, melainkan hanya
booking fee, dan hal tersebut tidak
memerlukan perizinan.
Sebagai masyarakat, pelik rasanya mengikuti perkembangan
informasi Meikarta dari satu masalah ke masalah lain. Masalah yang ada seolah
tak kunjung henti bermunculan. Jika kita telaah kembali, apakah benar Meikarta
menyalahi aturan? Sedangkan menurut pemberitaan, lahan sebesar 84,6 ha sudah mengantongi
izin untuk membangun pemukiman (baca di sini http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/08/22/meikarta-kantongi-izin-pembangunan-hunian-84-ha-dari-pemkab-bekasi) dan izin yang dikeluarkan pun blok per blok sesuai dengan blok-blok
yang dipasarkan saat launching. (Baca
juga https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/bos-meikarta-klaim-sudah-kantongi-izin-dari-pemerintah)
Jadi, salahkah
mereka melakukan promosi dengan menjual sebuah konsep? Atau perlukah polemik
ini terus digembar-gemborkan? Bukankah lebih baik kita menanti dan percaya
terhadap pihak pembangun dan pemerintah, bahwa mereka akan menjalankan proses
perizinan dengan cermat dan tepat hingga tuntas?
Entahlah,
mari kita tunggu saja.
0 COMENTÁRIOS
Post a Comment