Taken from |
Suara bel angin tepat di atasku bergemerincing begitu pintu kaca itu kudorong. Aku bergegas menuju konter minuman yang kebetulan lengang. Seorang wanita muda mengenakan apron coklat menanyakan pesananku
"Hot Tea Camomile dan donat polos," jawabku sambil menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah kepada wanita muda yang usianya terpaut beberapa tahun dariku.
Aku sengaja tidak memesan kopi seperti biasanya. Yang kubutuhkan siang ini adalah secangkir teh panas untuk menenangkan pikiran yang lelah.
Seorang barista yang lain memanggil namaku. Aku membawa pesananku ke meja dekat jendela. Beruntung kafe ini sedang tidak ramai. Jadi, aku bisa memilih kursi favoritku.
Aku nenjatuhkan diri pada sofa berbahan suede itu, meletakkan tas di samping kiriku dan ponsel tepat di sebelah minumanku.
Di luar langit sedang dirundung mendung. Sebentar lagi ketika air hujan mulai berjatuhan dari langit pasti akan banyak orang yang masuk ke kafe ini untuk sekadar menghangatkan badan.
Aku menyesap tehku perlahan-lahan. Ada aroma herbal yang ikut terjebak dalam lidahku. Rasanya tak seenak teh yang biasa kuminum.
Aku mengambil ponsel. Pesan yang kukirimkan pada Rama melalui Whatsapp belum juga terbaca.
Ingatanku kembali pada masa kami pertama kali bertemu dulu. Di sebuah pesta pernikahan seorang teman. Dia datang sendirian pun juga aku. Kami berkenalan saat hendak mengambil hidangan.
Rama menarik. Berkulit coklat, tinggi, badannya tegap. Yang paling aku ingat adalah sepasang mata coklat tajam dan senyum miring ciri khasnya.
Aku jatuh hati pada pria itu.
Pertemuan demi pertemuan kami lalui. Kedekatan di antara kami terjalin sampai Rama ditugaskan di Jakarta. Otomatis hubungan kami jarak jauh.
Kalau kamu tanya apa hubungan kami?
Aku sendiri tak tahu jawabannya. Mungkin seperti teman tapi rasanya kayak pacar. Bikin bingung kan?
Berkali-kali aku ingin menanyakan status hubungan kami. Hanya saja aku tak terbiasa mengungkapkannya terlebih dahulu. Aku menunggunya. Entah sampai kapan.
Ponselku bergetar beberapa kali. Aku dengan sigap mengambilnya. Menggesekkan jemariku di atas layar sentuh.
Rama tak mengerti bahwa aku merindukannya. Bahkan dengan sengaja aku terbang ke Jakarta hanya untuk bertemu dengannya. Lalu apa yang kudapat?
Ada dorongan emosi yang membuatku segera membalas pesan Rama. Dengan lincah kutulis balasan untuknya.
"Hot Tea Camomile dan donat polos," jawabku sambil menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah kepada wanita muda yang usianya terpaut beberapa tahun dariku.
Aku sengaja tidak memesan kopi seperti biasanya. Yang kubutuhkan siang ini adalah secangkir teh panas untuk menenangkan pikiran yang lelah.
Seorang barista yang lain memanggil namaku. Aku membawa pesananku ke meja dekat jendela. Beruntung kafe ini sedang tidak ramai. Jadi, aku bisa memilih kursi favoritku.
Aku nenjatuhkan diri pada sofa berbahan suede itu, meletakkan tas di samping kiriku dan ponsel tepat di sebelah minumanku.
Di luar langit sedang dirundung mendung. Sebentar lagi ketika air hujan mulai berjatuhan dari langit pasti akan banyak orang yang masuk ke kafe ini untuk sekadar menghangatkan badan.
Aku menyesap tehku perlahan-lahan. Ada aroma herbal yang ikut terjebak dalam lidahku. Rasanya tak seenak teh yang biasa kuminum.
Aku mengambil ponsel. Pesan yang kukirimkan pada Rama melalui Whatsapp belum juga terbaca.
Aku menunggumu di tempat biasa. Bisakah kita bertemu sebentar.Aku menghela napas panjang. Beberapa hari ini Rama mengacuhkanku. Pesan-pesan yang kukirim padanya tak kunjung berbalas. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa dia telah membaca pesanku. Rasanya menyedihkan, bukan?
Ingatanku kembali pada masa kami pertama kali bertemu dulu. Di sebuah pesta pernikahan seorang teman. Dia datang sendirian pun juga aku. Kami berkenalan saat hendak mengambil hidangan.
Rama menarik. Berkulit coklat, tinggi, badannya tegap. Yang paling aku ingat adalah sepasang mata coklat tajam dan senyum miring ciri khasnya.
Aku jatuh hati pada pria itu.
Pertemuan demi pertemuan kami lalui. Kedekatan di antara kami terjalin sampai Rama ditugaskan di Jakarta. Otomatis hubungan kami jarak jauh.
Kalau kamu tanya apa hubungan kami?
Aku sendiri tak tahu jawabannya. Mungkin seperti teman tapi rasanya kayak pacar. Bikin bingung kan?
Berkali-kali aku ingin menanyakan status hubungan kami. Hanya saja aku tak terbiasa mengungkapkannya terlebih dahulu. Aku menunggunya. Entah sampai kapan.
Ponselku bergetar beberapa kali. Aku dengan sigap mengambilnya. Menggesekkan jemariku di atas layar sentuh.
Maaf Ras. Aku sedang sibuk. Bagaimana kalau kita bertemu lain kali saja. Aku akan menghubungimu lagi.Aku memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Seperti ada sebuah batu besar yang menghimpitku. Rasa lelah yang kurasakan kini berlipat-lipat.
Rama tak mengerti bahwa aku merindukannya. Bahkan dengan sengaja aku terbang ke Jakarta hanya untuk bertemu dengannya. Lalu apa yang kudapat?
Ada dorongan emosi yang membuatku segera membalas pesan Rama. Dengan lincah kutulis balasan untuknya.
Tak ada lain kali Rama. Mulai hari anggap saja kita tak saling mengenal. Aku sudah terlalu lelah untuk menunggumu. Carilah wanita lain yang bisa kamu beri harapan.
Fiksi atau curhat nih? Hehehe
ReplyDeleteFiksi mbak...fiksi:)
DeleteIya Ras... Ayo move oh ajahhh... #selftalk ehehehe... Peace mbaaa...
ReplyDelete