"Pernah nggak kamu mencintai seseorang, tapi tidak bisa memilikinya?" tanyaku pada Kinara. Disela-sela kesibukan kami mempersiapkan ide storyboard untuk sebuah iklan minuman ringan.
Gadis yang mengenakan blouse tanpa lengan berwarna coklat itu mengernyitkan dahinya ke arahku. "Bertepuk sebelah tangan?" dia balik bertanya.
Aku menggeleng. "Bukan itu maksudku"
"Lalu?" Kinara memutar kursinya tepat ke arahku. Kini, fokus perhatian gadis itu tertuju padaku.
"Saling mencintai. Tapi, sayangnya tidak bisa memilikinya," jawabku menerawang. Mengingat Wisnu. Lelaki yang beberapa bulan dekat denganku.
"Jangan bilang.?" Kinara terlihat ragu untuk melanjutkan pertanyaannya.
Ketika aku mengangguk. Gadis itu menutup mulutnya sebagai bentuk kekagetannya. "Bagaimana ceritanya, Thalia?"
"Aku bertemu dia di acara reuni sekolah. Namanya Wisnu. Lelaki itu dua tingkat di atasku," aku berhenti. Siluet wajah Wisnu berkelebat di benakku. "Itu kali pertama bertemu.
Menurut Wisnu, dia sudah lama melihatku ketika duduk di bangku sekolah. Namun, lelaki itu tak berani mendekatiku karena aku anak salah satu guru di sana. Kamu tahulah gimana rasanya?" Aku tertawa kecil.
Menurut Wisnu, dia sudah lama melihatku ketika duduk di bangku sekolah. Namun, lelaki itu tak berani mendekatiku karena aku anak salah satu guru di sana. Kamu tahulah gimana rasanya?" Aku tertawa kecil.
"Jadi, lelaki itu sudah lama mengagumimu?" tanya Kinara.
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin iya. Mungkin juga tidak."
"Bagaimana kamu tahu lelaki itu sudah ada yang memiliki?"
"Ketika bersalaman dengannya. Aku melihat sebuah cincin tersemat di jari manisnya. Saat itu waktu seakan terhenti, Nara. Patah hati sebelum memiliki rasanya lebih menyakitkan."
"Kalau kamu tahu dia sudah menikah. Kenapa kamu lanjutkan?" aku mendengar nada cibiran dari ucapan Kinara barusan.
"Cinta membuatku bodoh." Aku tertawa kecil. "Kami saling mencintai. Hanya saja bertemu di waktu yang salah."
"Kamu sadar kalau itu akan membuatku sakit dan ada seseorang di sana yang kamu sakiti hatinya." Benik hitam bulat milik Kinara mengunci pandanganku.
"Aku sadar. Cukup sadar." Aku menghela napas. "Aku sudah cukup puas untuk menjadi nomor 2."
"Sampai kapan, Thalia?"
Pertanyaan Kinara seperti anak panah yang melesat langsung ke hulu hatiku. Menggoyangkan sedikit pertahananku."
Aku nggak tahu," jawabku lirih. Mataku memanas, dadaku bergejolak. Kugigit bibir bawahku keras-keras. Supaya air mata yang mulai menggenangi kelopak mataku tidak jatuh.
Aku nggak tahu," jawabku lirih. Mataku memanas, dadaku bergejolak. Kugigit bibir bawahku keras-keras. Supaya air mata yang mulai menggenangi kelopak mataku tidak jatuh.
Kinara merengkuhku dalam pelukannya. Membiarkanku menumpahkan segala emosi yang bersemayam di dadaku.
"Kalau kamu tak sanggup untuk menunggu. Maka, berhentilah sekarang," bisik Kinara saat tangannya mengelus lembut rambutku.
Postingan ini untuk meramaikan #30HariNgeblog
0 COMENTÁRIOS
Post a Comment